top of page

JADILAH SAUDARA DARI SEMUA - UNTUK SEMUA

Kebijaksanaan 9:13-18; Filemon 9b-10.12-17; Lukas 14:25-33

Rm. Gregory Harapan, SVD


Menjadi saudara untuk semua artinya kita hidup berdampingan dengan orang lain dan selalu mengusahakan kebaikan bersama. Kesalahan dan kekurangan pasti selalu ada. Dalam semangat persaudaraan; kesalahan dan kekurangan itu dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan pengertian dan mengefektifkan komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Ketidakharmonisan dalam hidup bersama umumnya tercipta “karena kita mempunyai cara pandang yang berbeda-beda”. Misalnya kita berdiri di dua sisi angka 6 atau 9. Orang yang berdiri di sisi yang satu bisa melihat angka yang ada di depannya 6 dan yang satu lagi 9 atau sebaliknya. Semua mereka benar, tergantung dari sisi mana mereka berdiri. Demikian dengan banyak hal yang terjadi dalam kehidupan bersama; konsep dan cara pikir kita sangat tergantung di sisi mana kita berdiri.


Manusia manakah dapat mengenal rencana Allah, atau siapakah yang dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan?(bdk Keb 9:13-18). Inilah sebuah pertanyaan reflektif yang sangat dalam dan menyentuh seluruh keberadaan kita sebagai ciptaan Tuhan. Allah sebagai asal dan tujuan hidup kita, Dia memiliki segala sesuatunya dalam kesempurnaan. Cara hidup dan karya kita setiap hari adalah model partisipasi kita dalam mengikuti rencana dan kehendak Allah. Tujuannya agar kita boleh berpartisipasi dalam kesempurnaan (keselamatan) Allah.

Kesempurnaan (keselamatan) yang kita miliki adalah hadiah cuma-cuma dari Allah yang disertai dengan usaha, doa, tapa dan matiraga yang kita lakukan. Rencana dan kehendak Allah, bisa kita dekati dengan melakukan yang baik dan menghindari yang jahat dalam hidup ini. Rancangan Tuhan bukan rancangan kita, jalan Tuhan bukan jalan kita ( bdk Yes 55:8-9). Kita tidak bisa menyelami secara penuh seluruh rencana dan kehendak Tuhan. Semuanya adalah misteri yang bisa kita selami dan mengerti secara perlahan-lahan. Seluruhnya akan kita pahami setelah kita bersatu dengan Dia dalam kesempurnaan (sesudah kematian).

Allah menganugerahkan dan mengutus Roh KudusNya ke atas kita untuk bisa memahami rencana dan kehendakNya. Kita perlu untuk “meniru Yesus”: kebaikanNya, kelemah-lembutanNya, pengajaran dan cara hdiupNya. Kita harus sanggup untuk menjadi saudara dari semua dan untuk semua.


Hal inilah yang Yesus lakukan selama Ia ada bersama murid-muridNya di dunia ini. Ia menjadi Saudara dari dan untuk siapa saja. “Kepada yang berdosa, Ia menjadi saudara supaya mereka bertobat. Kepada yang sakit, Ia menjadi Saudara supaya mereka sembuh. Kepada yang putus asa, kecewa, hilang harapan dalam hidup, Ia menjadi Saudara supaya mereka kembali memperoleh harapan dan keteguhan dalam hidup”.

Relasi kita dengan orang lain kadang putus. Itulah kenyataan. Faktor penyebab putusnya relasi itu sangat berfareasi. Kalau sebuah relasi putus, pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Sebuah relasi itu dipertahankan mestinya demi suatu tujuan yaitu kebaikan orang yang saling berelasi. Relasi satu dengan yang lain seharusnya membawa keuntungan dan manfaat timbal balik. Aspek ketersalingan dalam relasi inilah yang selalu dijaga. Relasi apa pun modelnya mestinya selalu mutual, kedua belah pihak mendapat nilai plusnya.

Paulus coba menfasilitasi hubungan yang rusak antara Filemon dan Onesimus agar normal kembali. Paulus mendudukan situasi yang dialami Filemon dan Onesimus secara benar. Ia membuka pikiran dan hati mereka berdua untuk melihat pentingnya ada bersama sebagai saudara (bdk Fil 9b-10.12-17). Contoh yang diangkat Paulus yaitu tentang persaudaraan dengan Kristus. Kalau kita menerima Kristus yang adalah saudara untuk semua orang, mestinya kita sebagai pengikutNya juga menerima satu sama lain sebagai saudara. Kita hidup dan memperlakukan satu sama lain sebagai saudara. Kalau prinsip persaudaraan yang dikedepankan, maka hal-hal yang merusak persaudaraan itu menjadi semakin berkurang.

Hidup bersaudara tidak berarti meniadakan perbedaan. Perbedaan itu pasti ada dan mestinya dibiarkan supaya tetap ada. Hal yang penting diingat berhubungan dengan perbedaan yaitu kita fokus dan mengembangkan kesamaan (posetif) yang dimiliki sebagai penguat persaudaran. Sedangkan hal yang bedanya, tetap dihargai agar terus memperkaya kebersamaan. Tidak ada dua manusia di kolong langit ini yang persis sama. Saudara kembar sekali pun mereka tetap berbeda. Karena itu, hargailah perbedaan yang ada untuk memperindah kebersamaan dalam hidup kita setiap hari.


Relasi yang putus, komunikasi yang tidak sambung perlu untuk segera di atasi dengan mengedepankan “tujuan bersama” dan mengesampingan “ingat diri” masing-masing. Kalau semua orang bersaudara dalam arti yang sesungguhnya “dunia tempat kita berpijak akan menjadi sebuah firdaus baru”, tempat di mana keharmonisan awal itu kembali tercipta.

Firdaus yang pertama rusak, karena “dosa kesombongan” manusia pertama Adam-Hawa. Relasi kita rusak, komunikasi kita putus juga disebabkan oleh hal yang sama yaitu “kesombongan”. Keangkuhan adalah virus maut yang merusakan keharmonisan dan kebersamaan. Perangilah virus itu dengan memohon terang Roh Kudus, agar kita senantiasa rendah hati. Satu nasihat yang cocok untuk memerangi kesombongan yaitu rendah hati, rendah hati dan sekali lagi rendah hati.


Kerendahan hati membantu orang untuk senantiasa belajar dari setiap perjumpaan dengan orang lain atau situasi kehidupan yang dialami. Orang yang rendah hati selalu melihat orang lain dari sisi posetifnya. Orang yang selalu melihat sisi yang posetif orang lain adalah dia yang selalu memiliki damai dalam hidupnya setiap hari. Orang yang sanggup memaafkan orang lain adalah orang yang rendah hati. Kalau mau damai, jadikanlah dirimu orang yang rendah hati.

Yesus dalam Lukas 14: 25-33 menyadarkan semua pengikutiNya bahwa perlu ada pegangan hidup yang pasti. Mengikuti Yesus mesti dengan ketulusan, 100% percaya kepadaNya, tidak ada 50% untuk Yesus dan 50% untuk yang lain. Ada tiga hal penting tentang syarat mengikuti Yesus, yang mau saya soroti dari teks ini:

  1. “Jika seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudarinya dan bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Artinya kita harus memiliki prioritas dalam hidup. Untuk kita, Yesuslah prioritas utama dan segala sesuatu yang lainnya menjadi prioritas berikutnya. Cinta kita kepada Yesus harus menjadi model untuk cinta kita kepada sesama dan alam sekitar. Kita meniru cinta Yesus yang menyelamatkan dan sama untuk semua orang.

  2. Barangsiapa yang tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Setiap orang mempunyai salib dengan bentuk, warna, berat dan ukurannya yang berbeda-beda. Salib kita bisa berupa tantangan usaha, karier, kesehatan, kehidupan berumahtangga, persahabatan dan kadang rupa kita (cantik –ganteng) bahkan cita-cita dan idealisme hidup. Karena itu:

1). Salib bisa menjadi berkat, kalau kita bisa melihat pesan di baliknya. Allah mencoba, menantang putra-putriNya, karena dengan itu Dia memperlakukan kita sebagai anak yang dikasihiNya. Kesetiaan kita dilihat melalui kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi tantangan dengan tidak meninggalkan kehendak Allah.

2) Salib bisa menjadi sarana yang mengembirakan kalau kita sanggup untuk menerimanya, memikulnya dan selanjutnya mencari jalan keluar untuk mengatasinya.

3) Salib bisa membawa perubahan. Perubahan selalu ada dua sisinya yaitu untuk menjadi semakin baik atau semakin buruk. Kita tetap focus pada sisi yang baiknya.

4) Salib bisa menjadi kutukan, kalau kita tidak bisa menerimanya, menolaknya atau lari darinya. Di saat kita menolak dan lari darinya, salib itu berubah bentuk dan beratnya menjadi semakin bertambah. Di kala salib berubah rupa dan beratnya, dalam situasi seperti itu kita dihimpitnya. Orang lari dari salib karena takut. Ketakutkan yang paling besar yaitu takut gagal, takut kehilangan muka, takut dikomentari orang.

5) Salib kita tanpa gagang, karena menyatuh dengan diri kita. Mari kita merangkul salib kita masing-masing, menerima dan memikulnya dengan sepenuh hati. Melalui salib dan bersama salib kita sampai kepada Yesus.

3. “Barangsiapa tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu”. Maksudnya adalah kita tidak terikat dan dikontrol oleh apa yang kita miliki. Seharusnya kitalah yang mengontrol apa yang kita punyai dan menggunakannya untuk kebaikan sendiri dan sesama. Apa yang kita miliki hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup.

37 views0 comments

Recent Posts

See All

Edisi: XIII / 2020 / HARI MINGGU PRAPASKAH V

KEMATIAN (BENCANA) REALITAS YANG TIDAK BISA DITOLAK Wabah Corona, menggemparkan dunia. Awalnya bermula dari Wuhan, China. Lalu sekarang ia menyebar dan mewabah ke seluruh dunia. Indonesia juga termasu

bottom of page