Imamat 19:1-2.17-18; 1Kor 3:16-23; Matius 5: 38-48
Hari Minggu Biasa VII
Dunia kita dewasa ini sering disugukan oleh pelbagai hal yang menakutkan, ada tindakan kriminal di mana-mana. Setiap hari, berita tindakan kejahatan demi kejahatan menjadi topik yang selalu ada di TV, media sosial dan media cetak lainnya. Kita bisa menjadi sasaran kejahatan kalau kita berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Orang saling memangsa sepertinya menjadi hal yang lumrah. Ada perkelahian antara fans sepak bola, antara kampung, antara sekolah, antara geng bahkan pembunuhan atas nama agama. Situasi perpolitikan di wilayah DKI Jakarta, menjadi kenyataan pilu yang bisa kita lihat. Orang, kelompok atau organisasi membuat “pembunuhan” karakter yang masif terhadap orang lain. Padahal Negara hukum, sesungguhnya tidak mengenal cara seperti itu. Sekali lagi Indonesia, kadang masih memberlakukan hukum menurut siapa dan hukum untuk siapa? Padahal huruf hukum dan rohnya, itulah yang harus diikuti secara benar, bukan hukum menurut siapa dan untuk siapa.
Ironisnya hal seperti ini terjadi di Indonesia, di negara Pancasila yang menyebut dirinya sebagai Negara yang berlandaskan hukum. Dalam kenyataan, hukum umumnya berpihak pada yang “punya”, entah itu punya kuasa, uang atau koneksi dengan yang berkuasa. Padahal aslinya hukum harus memihak pada kebenaran yang sesuai dengan fakta. Dalam kebenaran ada kecocokan antara ide dan kenyataan. Ide dan kenyataan itu harus berbanding lurus. Kebenaran dalam tataran filosofis harus seperti itu. Di Indonesia “kebenaran” lain lagi, benar menurut siapa, bukan benar menurut kenyataan yang terjadi. Artinya orang, group, golongan atau suku bisa merumuskan sendiri definisi tentang apa itu kebenaran. Inilah yang menjadi penyebab manusia saling memangsai di Indonesia.
Akar dari pemahaman yang salah ini adalah pendidikan dasar dalam keluarga. Orang tua tidak lagi mempunyai waktu untuk anak-anak mereka, atau anak-anak tidak lagi mendengarkan orang tuanya. Orangtua tidak sanggup lagi untuk memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya. Kalau pendidikan keluarga kenyataannya serunyam ini, maka masyarakat kita mengalami kemerosotan nilai dan kemunduran dalam gerakan memanusiakan manusia. Tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia muda, sehingga mereka memiliki karakter pancasilais yang selalu memihak kebenaran.
Lebih menyedihkan lagi, kekerasan sering terjadi dalam rumah tangga, anak ditelantarkan, suami – istri pisah. Juga, ada salah pergaulan, salah memilih teman sehingga terjerumus ke dalam pelbagai hal yang merusak hidup (narkoba, alcohol dan hidup hedonistik). Setiap orang harus menjadi tuan atas dirinya. Setiap orang harus bertanggungjawab untuk hidupnya.
Kejahatan yang terjadi di mana-mana membuat orang tidak aman. Memang kenyataan sosial seperti ini, membuat banyak orang merasa tidak nyaman lagi untuk bepergian terutama di kota-kota besar. Misalnya di Medan, separuh Jabotabek serta kota-kota lainnya (2011 – 2019), sering terjadi tindakan kejahatan terhadap tourist asing: ada yang dirampok, tas bawaan bisa beralih tangan ke orang yang tak dikenal dengan paksa, motor yang diparkir jauh dari pengawasan pemiliknya bisa lenyap seketika, mobil yang diparkir di tempat sepih bisa hilang atau kacanya dipecahkan untuk mengambil muatannya. Rasa aman di saat bepergian untuk menikmati alam, keindahan kota atau hanya sekedar menikmati hiruk pikuknya transportasi kota, serasa telah hilang.
Yang ada dalam benak setiap insan, harus selalu ekstra waspada di mana saja. Situasi ini, tidak dialami di negeri yang sungguh demokratis. Kita sebut saja Hong Kong sebelum tahun 2000 dan masih ada nuansa itu sampai 2019. Kalau kita bepergian di sana, orang masih mengingatkan kita kalau dompet kita jatuh. Mereka akan katakan, tuan dompetmu jatuh. Atau, maaf tuan apa ini telephonemu: kalau kita melupakan telephone kita di restaurant, mall atau transportasi umum. Hal seperti itu, sudah jarang terjadi di Indonesia tercinta ini.
Kedatangan Yesus ke tengah dunia ini membawa banyak perubahan. Perubahan yang paling radikal yaitu mengubah pandangan “tentang siapakah sesama” dan “berbuat sesuatu yang lebih dari yang biasa”.
Yang lebih dari biasa itu seperti hukum mata ganti mata, gigi ganti gigi, diubah Yesus dengan perintah mencintai musuh, jangan membalas dendam; diminta baju berilah juga jubahmu, diajak berjalan satu mil, jalanlah bersama orang itu dua mil, berdoa bagi yang menganiaya kamu.
Inti ajaran Yesus yaitu “melakukan yang baik dan menghindari yang jahat”. Yang terjadi pada hukum Yahudi yaitu berlaku adil. Misalnya kalau orang memukulmu sekali, kamu hanya boleh membalasnya dengan memukul sekali juga, jangan melakukannya lebih. Itu yang tersirat dalam hukum “mata ganti mata dan gigi ganti gigi”. Orang dituntut berbuat adil dalam segala konteks menurut huruf hukum. Hal ini dibuat untuk membatasi budaya kejahatan, kekerasan dan berlaku semena-mena terhadap orang lain yang terjadi dalam budaya Yahudi. Yesus berjalan jauh melampaui huruf hukum, berdasarkan semangat cinta yang sejati.
Seruan Kitab Imamat
“Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus. Harus berterus terang menegur sesamamu, jangan membenci saudaramu dalam hati. Jangan menuntut balas dan jangan dendam terhadap orang lain. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” ( bdk Im 19:1-2.17-18)
Penegasan Rasul Paulus
“Semuanya adalah kepunyaanmu. Tetapi kamu adalah milik Kristus, dan Kristus adalah milik Allah. Kamu adalah bait Allah, Roh Allah diam di dalam kamu. Jangan ada orang yang menipu dirinya sendiri. Janganlah bermegah diri atas hal-hal yang salah (kesombongan). Kamu adalah milik Kristus, dan Kristus adalah milik Allah” (bdk 1Kor 3:16-23)
Ajaran Musa VS Ajaran Yesus
“Kasihilah musuhmu. Ajakan Yesus untuk menggantikan hukum Musa Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Selanjutnya Yesus menegaskan agar orang melakukan sesuatu yang lebih; Bila ada orang yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu. Bila ada orang yang menghendaki bajumu, serahkan juga jubahmu. Bila seseorang memaksamu berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. (Berbuat lebih dari yang diminta atau dituntut: suatu keunggulan dalam berbuat baik). Berikanlah kepada orang apa yang dimintanya, dan jangan menolak orang yang mau meminjam sesuatu darimu. Berbuat beda dari yang biasanya orang lakukan yaitu kasihilah musuh-musuhmu, berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Semua orang harus ingat realitas ini, bahwa matahari diterbitkan bagi semua orang dan hujan diturunkan bagi semua orang. Kita harus berbuat baik kepada siapa saja, tanpa membeda-bedakan. Semakin beriman hendaknya membantu kita untuk semakin berbela rasa. Hendaklah kamu sempurna seperti BapaMu yang di surga sempurna adanya” (bdk Mat 5:38-48). Ini suatu panggilan abadi, tujuan seluruh kehidupan kita yaitu bersatu dengan Allah Bapa yang ada sempurna. Kita berjuang di dunia ini, untuk berpartisipasi dalam kesempurnaanNya. Walau kadang itu sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
Mari kita berbuat lebih dari yang biasa supaya kebaikan menjadi cara hidup semua orang. Inilah ajakan untuk kita masuk ke dalam masa retret agung, prapaskah 2020. Kita berjuang untuk menjadi bagian dari solusi bukan bagian dari masalah sambil merenungkan pesan surat gembala Uskup Ignatius Kardinal Suharyo :”menjadi komunitas alternatif dengan mewujudkan keadilan sosial”.
Comments