Minggu Biasa 18 C 2019
Pengkotbah 1:2;2:21-23; Kolose 3:1-5.9-11; Lukas 12:13-21
Rm. Gregory Harapan, SVD
Kitab Pengkotbah memberikan kritikan kepada orang yang hidupnya tidak selaras dengan imannya. Pengkotbah mengecam orang yang salah menentukan prioritas hidup. Ia dengan lantang melawan praktek manusia jamannya yang menomor-duakan Allah. Lebih sadis lagi, kalau orang mulai mengklaim dirinya sama seperti Allah. Atau menggantikan Allah dengan “allah-allah” lain. “Allah” baru orang zaman ini adalah handphonenya, tabletnya, komputernya atau kegemaran lainnya. Orang bisa menghabiskan waktunya belasan jam sehari dengan HP, tablet dan computer, tetapi lupa untuk meluang waktu biar beberapa menit berbicara dengan Tuhan. Memang segala sesuatu akan sia-sia kalau kita tidak memiliki pegangan hidup.
Benar segala sesuatu adalah sia-sia kalau manusia salah menentukan prioritas dalam hidup. Betul segala sesuatu sia-sia kalau manusia salah menentukan arah hidupnya. Kalau manusia mengarahkan hidupnya pada hal-hal duniawi saja maka akan berujung pada kesia-siaan. Kalau manusia salah membuat skala prioritas dalam hidup maka akan bermuara pada kebinasaan. Kita harus menata kembali hidup kita dengan membuat kesimbangan antara yang duniawi dan rohani, antara yang sesaat saja dan untuk yang jangka panjang sifatnya.
Yang membuat hidup kita berarti atau sia-sia adalah kita sendiri. Kalau mau hidup ini berarti, lakukanlah hal-hal yang mendatangkan kebaikan, kebenaran, keadilan dan kedamain. Kita harus memihak pada budaya kehidupan. Budaya kehidupan adalah membiasakan segala sesuatu yang baik: kerja keras, komitmen dan fokus pada hal-hal yang posetif. Mengapresiasi hal-hal baik yang orang lain lakukan. Meningkatkan efektivitas dan efesiensi dari segala sesuatu yang kita lakukan setiap hari. Di atas semuanya itu, jangan pernah melupakah Tuhan, memohon berkat dan penyertaanNya.
Semua yang kita cari dalam hidup ini tujuannya untuk mencapai kesejahteraan jiwa dan raga. Kita senang tetapi orang jangan dikorbankan atau sebaliknya orang lain senang kita tidak dikorbankan. Yang kita cari yaitu sukacita untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Juga kita mencari sukacita batiniah. Sukacita batiniah bisa saja hal-hal yang sederhana seperti kemampuan untuk mendengarkan sesama, meneguhkan dan membimbing sesama untuk semakin sukses dan gembira dalam hidup.
Orang musti meluangkan waktu, mengorbankan kesenangannya demi sesuatu yang lebih tinggi dan luhur sifatnya. Kekayaan batiniah itu hanya diperoleh dalam keseriusan dan pengorbanan yang besar (waktu, tenaga, kecakapan serta perasaan). Orang yang secara batiniah kaya, adalah:
Dia yang senantiasa bisa “melihat kehadiran Allah” dalam diri sesamanya.
Dia yang senantiasa bisa melihat “kebaikan, di tengah lautan keburukan yang luas” dalam kehidupan setiap hari.
Dia yang senantiasa menemukan seberkas cahaya terang, di tengah cakrawala kegelapan yang menyelimuti seseorang.
Dia yang bisa menemukan nilai, hal posetif dalam setiap kesulitan, tantangan, keterpurukan atau kesusahan yang dialami atau orang lain alami.
Orang seperti ini, senantiasa memiliki kepribadian yang tangguh, sabar, rendah hati dan selalu dipenuhi dengan kedamaian. Ia tidak mudah diombang-ambingkan oleh riakan situasi yang dijumpainya. Kualitas diri seseorang ditentukan oleh “berapa besar kekayaan batiniah” yang dia miliki.
Yang membuat orang bahagia dalam arti yang sesungguhnya dalam hidup yaitu kalau ia memiliki keseimbangan antara yang batiniah dan jasmania. Orang yang tidak timpang hidup rohani dan hidup jasmaninya mereka itulah yang memiliki kedamaian dan sukacita yang sejati dalam hidup. Orang yang kaya batinnya, pasti selalu dipenuhi dengan sukacita dan damai. Orang yang kaya secara materi belum tentu mengalami kegembiraan dan kedamaian karena selalu dikejar oleh bayang-bayang kekayaannya. Di mana hartamu berada, di situ hatimu berada.
Beralasan sekali kalau kitab Pengkotbah mengatakan “segala sesuatu sia-sia belaka”. Apakah faedah yang diperoleh orang dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari, kalau semuanya itu tidak diarahkan kepada sukacita dan kedamaian dalam hidup. Yang sia-sia adalah yang tidak didasarkan pada: ketulusan dan kerendahan hati, kemurnian dan kepolosan iman, keterbukaan dan saling pengertian, yang tidak terarah kepada kepentingan bersama dan kepada keluhuran dan kemuliaan Allah.
Kalau hal-hal di atas absen dalam hidup seseorang, maka sia-sialah dia hidup, sia-sialah dia ada dan menghuni bumi. Agar kita tidak masuk dalam kategori “yang sia-sia di bawah kolong langit ini” maka mari kita hidup sesuai dengan “ketulusan, kerendahan hati, kemurnian dan kepolosan iman, sesuai dengan kekayaan batiniah yang terarah kepada kepentingan bersama dan demi keluhuran dan kemuliaan Allah.
Kita telah dibangkitkan Kristus dari keterpurukan dosa, berkat kematian dan kebangkitanNya. Karena itu pikirkan perkara yang di atas, di mana Kristus berada, duduk di sebelah kanan Allah. Hal-hal inilah yang membuat hidup kita bermakna. Dengannya “kita menolak kesia-siaan” yang dikritikan oleh kitab Pengkotbah kepada para pendengarnya.
Kesia-siaan yang dibahasakan oleh Kitab Pengkotbah, diperjelas oleh Paulus. Dalam suratnya kepada orang di Kolose, ia memberi penegasan serta contoh-contoh yang jelas. Menurutnya yang sia-sia itu adalah: hidup yang terarah pada hal-hal duniawi: mendewakan kenikmatan dunia; percabulan, kenajisan, hawa nafsu jahat, keserakahan dan penyembahan berhala. Dusta. Pengotak-gotakan orang “orang Yunani – Yahudi, orang budak – merdeka”. Singkatnya semua yang buruk dan jahat: itulah yang membuat manusia menjadi makluk yang sia-sia. Kenakan hidup Kristus supaya kita selamat (bdk Kolose 3:1-5.9-11).
Dalam cerita St. Lukas, Yesus menolak menjadi “hakim” dalam perselisihan tentang warisan duniawi. Apa yang diminta oleh orang kaya kepada Yesus (Luk 12:13-21) adalah sebuah simbol kesia-siaan. Fokus perhatian si kaya itu yakni lumbung, gandum dan harta duniawi lainnya. Sesudah itu, ia berorientasi pada “kenikmatan” :istirahat, makan-minum, bersenang-senang /berfoya-foya. Warisan duniawi tidak menjadi jaminan untuk orang masuk ke dalam kerajaan surga. Kekayaan dalam Kristuslah yang menjadi jaminan dan bekal untuk masuk dalam kerajaan surga.
Mari kita budayakan, budaya surgawi yaitu mengutamakan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk dalam segala bentuk dan levelnya.
Comments